Tuesday, April 04, 2006

"aduh!!"

Saya sudah bernafas dengan satu lubang hidung seharian. Tidak sulit atau berbahaya memang, tetapi sangat sangat menyebalkan.

Hidung tersumbat! Pilek! Itu, ditambah dengan batuk sedikit dan sakit bulanan, menimbulkan kesebalan yang tiada tara. Ugh!

Jadi, entry hari ini adalah mengenai rasa tidak nyaman.

Pernahkan anda ke dokter gigi? Saya tidak suka perasaan tak berdaya saat berbaring di kursi dokter gigi, buka mulut pasrah, sementara dokter-dokter yang mukanya separuh tidak kelihatan (pakai masker) sibuk sendiri di atas kita. Saya pasti celingak-celinguk resah, lalu saat kebetulan melihat pantulan bagian dalam mulut sendiri melalui lampu bulat mentereng di atas kita, jadi ngeri sendiri melihat mulut babak belur penuh selang-selang aneh. Sakit atau tidak sakit, pasti saya mendapati badan ini terbaring dengan tegang dan sama sekali tidak nyaman, dengan tangan terkatup cemas posisi berdoa.

Tapi, pengalaman saya bulan lalu, ternyata lebih menyeramkan. Bahkan itu bukan dokter gigi. Pengalaman saya itu adalah facial. Terdengar genit dan tidak berbahaya bukan? Salah!! Jadi kesimpulan saya, facial itu lebih gory, lebih torturous, lebih menyakitkan daripada dokter gigi!!

Serius! Saat di ruang tunggu saya memang sama sekali tidak merasa ketakutan, apalagi saya tidak pernah facial secara komplit dan profesional. Ah, pikir saya, paling dipijet-pijet biasa. Saat masuk pun enak-enak saja, ruangan putih ber-ac dingin, berbaring nyaman dan dikasih krim entah ini itu yang rasanya dingin dan enak.

Lalu... Tiba-tiba sebuah alat berdesis panas yang ganas berjalan mendekat ke arah saya. Saya mulai merasa tidak nyaman. Mata pun ditutup dengan kapas dingin. Makin merasa tak berdaya. Uap panas mulai menderu-deru membabi-buta ke muka. Tidakk... saya mikir sambil kelagapan sendiri. Mau bernafas aja susah. Ide facial ini ternyata tidak begitu bagus.

Saya bersyukur kepada Tuhan ketika akhirnya alat uap maksiat itu dijauhkan dari saya.

"Mbak, itu tadi diuapin supaya apa sih?" Saya tanya, masih gelagapan.

"Biar kalau komedo dipencetin nanti nggak sakit."

Oh, begitu,... jadi setidaknya habis ini lebih tidak sakit.

Salah... kesalahan besar. The worst was yet to come.

Beberapa menit kemudian, kata-kata menenagkan tadi terdengar seperti bohong belaka, karena ketika muka saya dipencetin tanpa belas kasihan, sakitnya tidak main-main! Tangan yang terlatih itu memencet-mencet tanpa ampun dan aduuhh... tiap pencetan (rasanya berpuluh-puluh kali) rasanya suakit luar biasa, sampai kedua mata ini berair-air tak henti-hentinya. Uap tadi jadi tidak ada apa-apanya.

Tapi saya masih berusaha gagah dengan menahan diri tidak berteriak, menghindar, atau malahan menyerang mbak tak bersalah yang hanya menjalankan tugas itu. Tapi, lama-lama, saya berpikir, jangan-jangan karena dia kira saya tidak berasa sakit, mencetnya makin ganas. Jadi, mau tidak mau, saya harus mengekspresikan rasa sakit ini. Lalu saya pun pasang aksi "Aduh...!" "Au..." "Aduh!!". Sayangnya tidak ada perubahan, paling-paling ekspresi wajah si mbak jadi lebih apologetic, tapi sisanya sama saja.

Dan saya perhatikan, posisi badan saya jauh lebih tegang daripada kalau di dokter gigi, tangan mengatup berdoa lebih kencang, menahan sakit.

Setidaknya, saat operasi gigi bungsu, sakitnya cuma sedikit dan sebentar saat disuntik mati rasa, setelah itu saya bisa gagah buka mulut tanpa merasakan apa pun selama operasi.

Tapi, kali itu, rasanya sakit itu tidak ada henti-hentinya. Rasanya muka ini sampai mau copot semua. Saya rasanya jadi yakin, kalau Mbak ini dikeroyok penjahat malam-malam, tinggal dia pencet hidungnya, penjahatnya pasti mati kutu.

Akhirnya proses gila itu berakhir juga dengan pemberian suatu serum aneh berbau alkohol yang tadinya dingin, nyaman, lalu akhirnya jadi nyelekit-nyelekit menyakitkan karena muka saya yang babak belur itu.

"Jarang facial ya?" tanya mbaknya. Saya mengangguk-angguk sedih, yang terus dibalas, "Pantesan itu kulit mukanya keras semua, makanya jadi sakit."

Ah!! Seakan-akan itu mampu justify sakit yang tidak karuan dari tadi!

Saya keluar dari ruang facial dengan batin sedikit terguncang.

Heran, wanita-wanita jaman sekarang, demi kecantikan, rela menjalani kesakitan yang aneh-aneh. Beauty dan pain bagaikan dua sisi koin yang tidak seimbang, pain-nya jauh lebih besar, karena, bayangkan, 70 tahun ke depan, semua orang juga jadi peot-peot. Masalahnya, facial itu harusnya suatu rutinitas dan katanya memang perlu, buat siapa saja, nggak wanita, nggak pria.

Lalu, saya lihat, seminggu setelah facial itu, hidung sudah kembali seperti semula (baca: komedo tumbuh subur). Jadi apa gunanya sakit-sakit waktu itu? Bagaikan menggarami air laut. Tapi waktu menggarami kena luka sendiri. Sudah sakit, tidak ada gunanya.

2 Comments:

Blogger laura tj said...

GUBRAK! hauehaueheaea aku sampe ngakak2 baca postinganmu! facial ndek mana????

8:03 PM  
Blogger alice said...

erha clinic... (diucapkan dengan dendam)

8:02 PM  

Post a Comment

<< Home